Panggung yang melelahkan

  Ada kalanya aku merenung, bertanya dalam hati: untuk apa sebenarnya aku masih bertahan di sini? Pekerjaan ini dulu sempat terasa seperti rumah—tempatku menuangkan tenaga, pikiran, dan niat baik. Aku percaya bahwa bekerja bukan hanya tentang menjalankan tugas, tapi juga tentang menemukan kenyamanan dalam kebersamaan. Rekan kerja seharusnya menjadi penopang, bukan beban. Mereka adalah udara; bila jernih, kita bisa bernapas lega. Bila keruh, kita tersedak pelan-pelan.

Namun, semakin hari aku merasakan bahwa udara di sini makin berat. Ruang yang seharusnya jadi ladang kolaborasi perlahan berubah menjadi panggung. Bukan panggung pengabdian, tapi panggung pencitraan Banyak di antara mereka yang sibuk mencari sorotan, haus akan tepuk tangan, hingga lupa bahwa inti dari pekerjaan ini bukanlah siapa yang paling terlihat, melainkan siapa yang paling tulus memberi manfaat.

Aku mencoba memahami, mencoba menerima, bahkan mencoba menutup mata. Tetapi semakin lama, yang kudengar bukan lagi suarang orang bekerja , melainkan riuh rendah pertunjukan. Orang-orang berlomba menjadi bintang, padahal bintang sejati tidak pernah berteriak agar dilihat; ia cukup bersinar pada waktunya. Ironisnya, di sini justru yang bersinar redup sering tertutupi oleh bayangan-bayangan yang sibuk memperbesar dirinya sendiri.

Aku lelah. Lelah bukan karena beban kerja, tapi karena sandiwara yang seolah tak pernah selesai. Lelah menahan kecewa, lelah berpura-pura seakan semuanya baik-baik saja. Betahnya bekerja itu sederhana: cukup ada rekan yang nyaman, yang saling menopang, yang bisa membuat langkah ringan meski pekerjaan berat. Tapi kenyamanan itu kini telah raib, digantikan suasana penuh kepalsuan.

Maka aku mulai berpikir: apakah tempat ini masih layak kupertahankan? Mempertahankannya sama saja seperti memaksa diri tinggal di rumah yang atapnya bocor, dindingnya retak, dan penghuninya sibuk memamerkan cat baru padahal fondasinya runtuh. Dari luar tampak indah, dari dalam membuat penghuninya sesak.

Aku tahu, kata-kataku mungkin terdengar keras. Tapi justru dengan jujur aku ingin menyelamatkan diriku sendiri. Karena terus bertahan hanya akan membuat jiwa ini kian terkikis. Dan bila suatu hari aku memilih melangkah pergi, itu bukan tanda aku menyerah, melainkan tanda aku memilih waras Aku tidak ingin terjebak dalam arus keramaian palsu yang hanya sibuk menebar bayangan.

Pada akhirnya, aku hanya ingin berada di ruang yang benar-benar layak: ruang yang jujur tenang, dan penuh ketulusan. Jika di sini aku tak lagi menemukannya, maka aku harus berani melepaskan. Karena ada harga yang terlalu mahal bila terus bertahan di tengah panggung yang hanya menguras hati.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku Tak Takut Kehilangan

Jejak kita ber4